Sampai detik ini, sampah masih menjadi persoalan pelik yang kerap menjadi perhatian bersama. Tidak hanya di negeri seluas 1,905 juta km² seperti Indonesia, persoalan sampah sudah menjadi momok mengkhawatirkan bagi masyarakat dunia. Tentu, hal tersebut terjadi akibat permasalahan sampah yang tak kunjung usai sehingga semakin hari semakin menarik perhatian massa. Pertanyaan yang kerap disodorkan antara satu dengan lainnya perihal mengapa sampah masih berserakan dimana-mana, perihal kesadaran manusia akan kawasannya, dan lain sebagainya mengundang tudingan antara aspek yang berkehidupan.
Segala upaya mendasar hingga yang paling maksimal telah dijalankan guna menyelesaikan perkara sampah yang tidak juga kunjung usai.
Penetapan strategi dan penanaman mindset akan titik lidah “Buanglah sampah pada tempatnya” tidak juga memanifestasikan ekspektasi manusia yang diharapkan patuh membuang sampah pada tempatnya.
Sebagai Kota dengan luas daratan 250 Kilometer persegi, Kota Tarakan merupakan salah satu wilayah penghasil sampah terbesar di bumi Benuanta — Kaltara. Meski memiliki daratan yang relatif kecil namun produksi sampah Bumi Paguntaka tidak main-main. Tercatat, dari data Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPA Hake Babu di tahun 2021, volume sampah di Januari lalu rata-rata sudah mencapai 130 ton per hari.
Bahkan di momen tertentu volume bisa meningkat menjadi 141 ton per hari. Salah satu contoh terjadi pada bulan April yang merunut pada data UPT TPA Hake Babu. Itu baru persoalan sampah di penampungan, lalu bagaimana sampah di kawasan pesisirnya. Meski belum terdapat lembaga yang dapat mencatat bahkan memprediksi volume sampah di kawasan pesisir paguntaka, namun hal yang kita ketahui bersama, persoalan sampah di kawasan pesisir bukanlah persoalan sebelah mata.
Dengan sangat terpaksa, penulis harus menyampaikan kepada pembaca bahwasannya sampah yang diperkarakan khalayak adalah sampah anorganik yang dianggap lebih lama terurai dibanding sampah organik, salah satu sampelnya adalah sampah plastik.
Siapa yang paling bertanggung jawab atas maraknya sampah plastik? 55 persen publik memandang produsen adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas maraknya sampah plastik serta yang wajib berupaya mengurangi kemasan sekali pakai, berlandaskan pasal 15 UU 18 tahun 2008 yang menegaskan bahwa “Produsen wajib mengelolah kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.”
Bukan hanya faktor produsen, faktor wilayah pun turut serta ambil bagian, khususnya Kota Tarakan yang kerap menjadi pusat transit dari empat kabupaten (Bulungan, Nunukan, Malinau, Kabupaten Tana Tidung) di Kalimantan Utara, bahkan menjadi lokasi transit dari pelosok Indonesia menuju perbatasan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sampah atau sisa buangan dari empat kabupaten tersebut juga kerap bermuara di pulau transit ini.
Kembali saya tawarkan, strategi yang kerap dikampanyekan berulang perihal “Mengelolah sampah bersama,” dan pengelolahan sampah telah tertuang pertama kali dalam undang-undang nomor 18 tahun 2008.
Kenapa penulis kerap mengkampanyekan keras perihal pengelolahan sampah,
tentu saja karena selama ini kita telah menerapkan pendekatan angkut dan buang ke hilir tetapi jelas-jelas tidak menyelesaikan masalah dari sumbernya.
Jika membuang dan mengangkut sampah pada tiap-tiap titik pembuangan yang berakhir di lokasi pemrosesan akhir tidak berlangsung sesuai harapan, sebalik hal ini justru akan menimbulkan timbunan di TPA yang semakin hari semakin melejit. Sebenarnya, perkara ini dapat menjadi momentum kolaborasi kedua aspek yang urung terjelma menjadi bentuk timbal balik.
Apa maksud penulis perihal timbal balik, masyarakat membantu mengurangi produksi sampah dengan melakukan pengelolaan guna memberi keuntungan bagi masyarakat.
Tentu kesadaran masyarakat dapat dipikat dengan menawarkan komisi baik dalam nilai ekonomis dan ergonomis.
Oleh sebab itu, kita dapat memanfaatkan mesin pengelolahan sampah yang dapat menciptakan penemuan-penemuan bahan baku yang komersial dengan memperhatikan sumber daya alam utama di suatu wilayah.
Contoh sederhana, di Kota Tarakan, nelayan dan petani rumput laut merupakan profesi, yang tidak terlepas dari perbatasan garis pantai. Sehingga mereka memerlukan penunjang bahan bakar agar tetap menjalankan rutinitasnya.
Jika dikaitkan dengan kondisi wilayah di Kota Tarakan yang banyak memproduksi sampah plastik, maka dapat kita wujudkan wilayah bebas sampah plastik dengan mengelolanya menjadi bahan baku penunjang kegiatan ekonomi wilayah. Salah satunya, ialah mengelolah sampah menjadi beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) guna mengubah kebuntungan menjadi keuntungan
Dan tentu gagasan ini dapat diterapkan di seluruh wilayah baik di skala nasional maupun internasional dengan mempertimbangkan dan menyesuaikannya dengan kondisi, dan kebutuhan sumber daya di suatu wilayah.
Bukan hanya itu, penulis kembali menawarkan solusi sekiranya di tiap-tiap marketplace disediakan bank sampah guna menarik kembali kemasan untuk digunakan ulang, didaur ulang, namun sebelumnya sampah kemasan atau plastik akan ditimbang dan dicatat di buku tabungan.
Jadi, tanamkan di mindset kita bahwa sampah bukan lagi menjadi masalah sepele hari ini, bukan lagi menjadi masalah yang musti dikesampingkan, karena sampah sudah banyak menimbulkan bencana alam, bukan hanya bencana banjir yang kemudian menenggelamkan sepetak rumah warga, tetapi juga mendatangkan bencana hingga yang paling kompleks, salah satunya yaitu global warming, yang semakin hari kerap mengundang bencana lainnya, bahkan kondisi iklim yang ekstrim hari ini adalah akibat dari global warning. Lalu, siapa lagi yang akan dilimpahkan?
So, lets see!
Dilansir dari temuan baru para ilmuwan di jurnal science yang bertema ” Intergenerational inequities in exposure to climate extremes,” para generasi Alpha (mereka yang lahir di tahun 2010 hingga 2020-an) diprediksi kelak akan terpapar dengan kondisi iklim yang tujuh kali lebih ekstrim ketimbang kakek neneknya hari ini.
Maka dari itu, pengelolahan sampah adalah kecil dari sebagian besar suara-suara gagasan yang kerap mendesak guna menunda segala ancaman berupa bencana-bencana ekstrim yang diakibatkan dari tumpukan sampah, karena andaikata kita beranjak merenung bersama, jika bukan hari ini, jika bukan dimulai dari kesadaran akan diri sendiri, saya dapat pastikan generasi kita selanjutnya yang akan memikul beban berupa bencana-bencana kelak mendatang.
Bagaimana???
salam, Adinda Rahmadani.